Senin, 14 September 2015

Akhir Desember, Fatayat NU Jombang Gelar Pelatihan Dakwah

Jombang, Pondok Pesantren Tegal. Seperti bulan-bulan sebelumnya di setiap hari Jum’at akhir bulan, Pimpinan Cabang (PC) Fatayat Nahdlatul Ulama Jombang, Jawa Timur, melalui ketua-ketua bidang mengadakan kajian dengan mendatangkan Pimpinan Anak Cabang (PAC) sebagai peserta.

Untuk bulan Desember ini, bertepatan dengan waktunya bidang dakwah menyelenggarakan pelatihan dakwah sekaligus kajian fiqih perempuan dan Aswaja di kantor PC Muslimat NU Jombang. Pada pelatihan dakwah sekaligus kajian fiqih perempuan dan Aswaja nanti akan menghadirkan Ny Mahsunah Faruq sebagai pemateri.

Akhir Desember, Fatayat NU Jombang Gelar Pelatihan Dakwah (Sumber Gambar : Nu Online)
Akhir Desember, Fatayat NU Jombang Gelar Pelatihan Dakwah (Sumber Gambar : Nu Online)

Akhir Desember, Fatayat NU Jombang Gelar Pelatihan Dakwah

“Kami berharap melalui program yang sudah dipasrahkan kepada setiap bidang ini, selain bermanfaat untuk peserta secara pribadi. juga akan disebarkan kepada pengurus lainnya di setiap kecataman,” kata Ema Umiyyatul Chusnah, ketua PC Fatayat NU Jombang.

Pondok Pesantren Tegal

Putri Wakil Bupati Jombang yang lazim dipanggil ning Ema itu juga mengatakan bahwa program bulanan yang sudah berjalan selama tiga bulan merupakan inovasi yang dilakukan PC Fatayat NU Jombang berdasarkan pengalaman periode sebelumnya.

Pondok Pesantren Tegal

“Ini masuk bulan ketiga, bulan pertama sudah dilaksanakan oleh bidang pendidikan dengan kajian tentang pola asuh anak,” kata orang nomor satu di Fatayat NU Jombang ini kepada Pondok Pesantren Tegal.

Sementara bulan kedua, mereka mengundang narasumber dari dinas kesehatan Kabupaten Jombang untuk mengisi materi tentang kosmetik yang halal dan alamiah. “Selain itu, peserta juga diberi pengetahuan tentang makanan yang sehat. Karena sebagai ibu rumah tangga harus pandai memilih dan menyajikan menu makanan yang sehat kepada anak dan keluarganya. Walaupun makanan sederhana, tapi mempunyai nilai gizi yang baik,” lanjut cucu KH Wahab Chasbullah itu.

Kegiatan rutin Fatayat Jombang yang tidak melupakan tahlilan, yasinan dan istighosah ini diikuti utusan dari seluruh kecamatan atau perwakilan PAC se-Kabupaten Jombang. “Setiap PAC haru mendelegasikan dua orang pengurus harian, dan satu orang ketua bidang sesuai materi yang dibahas pada bulan itu. Jadi jumlah keseluruhan peserta dari 21 PAC adalah 63 orang. Nanti ditambah 20an pengurus cabang,” tambah ketua fraksi PPP DPRD Jombang ini. (Romza/Mahbib)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pondok Pesantren Tegal Santri Pondok Pesantren Tegal

Senin, 07 September 2015

Alumni PMII NTB Usulkan KMNU jadi Banom Mahasiswa NU

Mataram, Pondok Pesantren Tegal. Terkait rencana kembalinya PMII menjadi badan otonom NU, Lalu Aksar Anshori, SP salah satu mantan Ketua Umum PC PMII kota Mataram (1993-1994) yang kini duduk menjadi ketua KPU NTB angkat bicara.

Alumni PMII NTB Usulkan KMNU jadi Banom Mahasiswa NU (Sumber Gambar : Nu Online)
Alumni PMII NTB Usulkan KMNU jadi Banom Mahasiswa NU (Sumber Gambar : Nu Online)

Alumni PMII NTB Usulkan KMNU jadi Banom Mahasiswa NU

"Sebaiknya PMII tidak menjadi banom NU, sebaiknya tetap independen, Nahdlatul Ulama sendiri belum tentu memahami karakteristik dan tipelogi gerakan mahasiswa pada setiap perguruan tinggi yang ada di seluruh Indonesia," kata Bang Aksar sapan akrabnya kepada Pondok Pesantren Tegal, Jumat pagi (03/07)

Apabila NU mau membuat banom baru di tingkat kemahasiswaan, menurutnya, maka lebih tepat NU itu mengesahkan KMNU sebagai banom NU, dan KMNU itu sendiri dinilai efektif bergerak di seluruh kampus guna menyebarkan faham ke-NU-an, yakinnya.

Pondok Pesantren Tegal

"NU sebenarnya tinggal memberikan legitimasi (mengesahkan) Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) untuk dijadikan banom yang bergerak di setiap kampus yang ada," sarannya

Dia pun mencontohkan kembali, KMNU yang saat ini ada di Perguruan Tinggi Luar Negeri, seperti yang ada di Mesir, London, Amerika, Maroko dst. Sementara PMII sendiri yang selama ini sudah berkembang dan tidak punya masalah dengan NU sebaiknya dibiarkan saja tidak menjadi banom, sebutnya.

Pondok Pesantren Tegal

Menurutnya, antara mahasiswa yang berada di perguruan tinggi ? agama dan umum, yang ada di wilayah Jawa dan luar pulau Jawa, masing-masing mereka tentu memiliki tipologi dan karakteristik yang berbeda, dan NU sendiri belum tentu memahami kondisi tersebut, kata Mantan Ketua PW Ansor ini memperkuat alasannya agar PMII tidak menjadi banom lagi

Aksar sendiri menilai sikap demikian bisa berakibat mengerdilkan kader-kader PMII yang ada di setiap perguruan tinggi, terutama perguruan tinggi kampus umum, katanya.

Dia pun mencontohkan bahwa ormas besar seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah selama ini belum mampu membangun gerakan banom kemahasiswaan pada setiap kampus yang ada.?

"Belum ada ormas besar di Indonesia yang mampu membangun gerakan banom kemahasiswaannya di sejumlah kampus yang ada, IMM sebagai banom kemahasiswaan milik Muhammadiyah tidak berkembang di kampus-kampus. Bahkan sekalipun di kampus milik Muhammadiyah itu sendiri," paparnya.?

"Saya cinta terhadap PMII, saya pernah dibesarkan PMII, saya pernah menjadi Ketua Umum PC PMII Mataram pada Tahun 1993-1994 lalu. Bahkan bukan saja pernah Menjadi Ketua Umum di PMII, saya juga pernah menjadi Ketua IPNU NTB dan Ketua PW GP Ansor NTB," jelasnya. ?

Kendati demikian, Aksar menyerahkan kepada kader PMII "Keputusan terakhir ada di sahabat pengurus dan PB PMII," tandasnya.

Tapi ia pun menegaskan kembali bahwa PB PMII pun tidak bisa mewakili aspirasi di bawah kecuali keputusannya (masuk atau tidak jadi banom) diambil melalu Kongres.?

Begitupun IKA PMII yang wacananya lebih cendrung PMII menjadi banom. Ia menegaskan IKA PMII juga tidak bisa menjadi acuan final karena IKA sendiri belum memiliki aturan tentang penetapan mekanisme ke mana arah PMII pada muktmar mendatang. (Hadi/Mukafi Niam)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pondok Pesantren Tegal Ubudiyah, News Pondok Pesantren Tegal

Sabtu, 05 September 2015

Menakar Kesadaran Profetik Gerakan Kepemudaan

Oleh Ananta Damarjati

Tidak bisa dipungkiri, perdebatan antara agama dan sains merupakan perdebatan abadi. Kedua entitas tersebut cenderung sulit dipersatukan. Agama memaksa sains agar terikat oleh nilai, sebaliknya, sains menuntut seseorang untuk menelanjangi dirinya dari segala macam bentuk dogma sebelum memasuki gerbang “kebenaran” objektif yang diidentikan dengannya. Dalam arti lain, sains harus bebas nilai.

Menakar Kesadaran Profetik Gerakan Kepemudaan (Sumber Gambar : Nu Online)
Menakar Kesadaran Profetik Gerakan Kepemudaan (Sumber Gambar : Nu Online)

Menakar Kesadaran Profetik Gerakan Kepemudaan

Premis-premis yang diajukan filsafat barat (filsafat kritis) juga selalu meletakkan dirinya sebagai oposisi biner dari gagasan tentang wahyu agama. Sehubungan dengan itu, Kuntowijoyo dalam bukunya mengutip pendapat Roger Garaudy, bahwa filsafat barat (filsafat kritis) “tidak memuaskan, sebab terombang-ambing antara dua kubu idealis dan materialis, tanpa kesudahan. Filsafat barat (filsafat kritis) itu lahir dari pernyataan: Bagaimana pengetahuan dimungkinkan. Dia (Garaudy) menyarankan untuk mengubah pertanyaan itu menjadi: Bagaimana wahyu itu dimungkinkan.” (2006:97). Garaudy berpendapat bahwa “Filsafat barat sudah ‘membunuh’ Tuhan dan manusia”. Oleh karena itu dia menyarankan “supaya umat manusia memakai filsafat kenabian dari Islam (Garaudy, 1982:139-168) dengan mengakui wahyu” (2006:98).

Di sini dapat dipahami bahwa filsafat barat menitikberatkan epistemologi pengetahuannya melalui akal. Dan Garaudy seolah menegaskan, bahwa ada sebuah kebenaran hakiki melalui wahyu yang lebih tinggi di atas kebenaran yang diperoleh lewat akal.

Pondok Pesantren Tegal



Wahyu dalam paradigma profetik


Pondok Pesantren Tegal

Hal wahyu menjadi menarik jika diurai dalam konteks sosio-historis peradaban manusia. Di tanah Nusantarakuno (baca; Dipantara) sebelum secara simbolis identik dengan Majapahit, nenek moyang kita sudahmelakukan berbagai kegiatan sembahyang terstruktur dan metodis, atau pola asketis lain.

Bahkan, -menyitir gagasan Emha Ainun Najib- Resi atau ahli pertapaan zaman itu telah mencapai maqam tertinggi sebelum akhirnya selangkah lagi dapat mempertemukan dirinya dengan Tuhan.

Sayangnya, pertemuan itu tidak pernah terjadi jika tanpa informasi (wahyu) langsung dari Tuhan sendiri tentang siapa diri-Nya.Maka diturunkanlah oleh Tuhan secara langsung, informasi-informasi mengenai diri-Nya melalui Nabi dan Rosul-Nya, kemudian wahyu tersebut termanifestasi secara sakral menjadi teks kitab suci.

Syahdan, sejarah dan pergulatan panjang peradaban manusia tidak lantas menjadikan wahyu yang tertuang dalam Al-Qur’an kita sekarang, lapuk termakan jaman dan usang.Hal tersebut karena, paradigma profetik para Nabi dan Rosul dalam menyampaikan ajaran tauhid sampai saat ini masihdan terus ditularkan oleh para cendekiawan (pelajar, mahasiswa, pemuda)bahkan sejak wafatnya Rosul terakhir di muka bumi, Muhammad SAW 14 abad yang lalu, tidak melunturkan semangat itu.

Berkat semangat profetik yangditeruskan para cendekiawan yang bersentuhan langsung dengan Al-Qur’an dalam tataran keilmuan itu pula lah, manusia abad ini tetap memiliki kesadaran tentang adanya kesatuan esensial secara asasi antara subjek-objek, yaitu manusia-Tuhan (Ha’iri, 1994:20), dan kemudian menjadi tradisi besar spiritualitas manusia.

Berkat semangat kenabian dalam menyebar informasi yang terkandung dalam kitab suci pula, manusia secara epistemologis dapat memahami eksistensi Tuhan melalui refleksi pancaran cahaya-Nya terhadap seni, politik, agama dan jagad raya secara keseluruhan.



Aplikasi Kesadaran Profetik dalam Organisasi


Jika menilik lagi konsep ilmu sosial profetik Kuntowijoyo dan mengkontekstualisasikannya dengan peran cendekiawan sebagai suksesor dakwah Islam sejak Rasulullah SAW wafat, maka terlihat peran mereka begitu kental dalam menjaga gawang struktur transendental Al-Qur’an, baik yang berkenaan dengan muamalah ataupun ibadah mahdlah.

Dengan menjaga teksnya, menerapkan ajaran yang terkandung di dalamnya, serta mengukur relevansinya dengan realita, ritme dan progresivitas sosial masa kini tanpa mengubah strukturnya, seorang cendekiawan telah memenuhi dimensi etika profetik, karena ada tanggungjawab sosial dan kerja transformatif dalam praksisnya.

Seorang cendekiawan muda, Lafran Panepada tahun 1947 yang membuka kesadaran lebih luas tentang paradigma ini, ketika dia mengikutsertakan sejumlah orang untuk ikut bertanggungjawab atas kesadaran profetik dan mengkonsepsinya dalam bentuk organisasi. Mereka menyengajakan diri untuk terlibat dalam sejarah kemanusiaan dengan mengambil porsi besar tanggungjawab sosial dari masyarakat di Indonesia.

Pembentukan organisasi ini agaknya merupakan titik tengah, atau bahkan perkawinan gejala sosial masyarakat (modernitas, sains, sosial-budaya.dll) dengan nilai kebenaran agama. Dalam perpektif sosial profetik Kuntowijoyo, hal ini merupakan metodologi integralistik untuk mencapai peradaban kemanusiaan yang maju, serta upaya memecahkan masalah relasi antara Islam dan dunia modern yang menimbulkan ketegangan baik dengansosial, kebudayaan dan politik.

Gagasan ini bertitik tolak dari ajaran dan nilai-nilai keagamaan yang bersifat subjektif dalam arti lain menyangkut keyakinan orang per orang. Namun menurut Dawam Rahardjo, ajaran keagamaan itu khususnya di Indonesia, tidak bisa ditolak. Atau harus sedemikian rupa diakomodasi sebagaimana dilakukan oleh penguasa zaman lalu (Contoh; Sultan Agung, Sunan Kalijaga, dsb).

Pendekatan akomodasi dan objektifikasi di atas sangat penting untuk menghindari konflik-konflik yang timbul seperti yang terlihat dalam masyarakat Indonesia sekarang, serta dalam rangka mengharmoniskan hubungan agama dengan politik, seni, filsafat, sosial dan budaya.

Beruntunglah Indonesia memiliki beberapa organisasi kepemudaan yang secara tidak langsung berani mendeklarasikan dirinya sebagaiorganisasi “berkesadaran kenabian”, lalu ikut andil menyadarkan masyarakatluas, Negara, serta Pemerintah tentang berbagai isu sensitif? yang bersentuhan langsung dengan agama.

Namun, jika melihat pergerakan organisasi“profetik” kepemudaan sekarang ini, perlukah mempertanyakan lagi perihal konsistensi etika dan kesadaran profetik serta manifestasi kesadaran kenabian dalam menyoal relevansinya terhadap hal-hal yang menjadi objek kajian mereka?



Refleksi Profetisitas Gerakan Kepemudaan



Bagi Kuntowijoyo, menjalankan misi profetik harus mampu menerjemahkan tiga peran, yaitu tentang pentingnya melakukan amar ma’ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi) dan tu’minu billah (transendensi). Di sinilah menurut saya, gerakan kepemudaan menjadi mode komunikasi yang bertemu dengan misi dakwah –peran kenabian-, yang melahirkan organisasi dengan nilai-nilai profetik.

Secara garis besar, Kuntowijoyo berusaha menjelaskan, bahwa dengan humanisasi, manusia akan mampu menjadi manusia sejati yang menyeru pada kebaikan. Menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai individu, masyarakat dan hamba Tuhan. Sementara liberasi bertujuan memerdekaan manusia dari segala bentuk ketidakadilan yang bertentangan dengan perikemanusiaan dan akal budi manusia.

Sedangkan melalui kesadaran transendental, yaitu kesadaran lillah, billah, lirrasul, birrasul, secara langsung berdampak pada meningkatnya iman. Sehingga manusia akan mampu melakukan tugas humanisasi dan liberasi secara utuh.

Langkah Lafran Pane menginstitusionalisasi kesadaran profetiknya (yang kemudian diikuti sebagian besar organisasi lain), secara manifestasi adalah mengikutsertakan sejumlah orang untuk ikut bertanggung jawab atas “pengkonstruksian dunia”nya, karena merekalah yang berkesadaran turut membentuk dunia tersebut. Mereka sebagai bagian dari anggota masyarakat mencoba memahami dunia yang sebenarnya mereka bentuk sendiri.

Faktanya, organisasi kepemudaan yang mengusung napas agama telah mampu menjadi mesin yang mengonstruksi dunia sosial di sekitarnya. Atau memang telah didesain secara struktural untuk menyediakan calon pemimpin berkelas secara individu. Yang jelas, konstruksi sosial, kebudayaan sampai politik tidak pernah lepas dari pergerakan organisasi kepemudaan sejak awal keberadaannya di Indonesia.

Namun seiring dengan semakin tingginya posisi tawar, eksistensi dan aktualisasi diripada organisasi kepemudaan terhadap segala sendi sosial, politik dan kebudayaan kemasyarakatan kita, tidak bisa tidak, akan selalu ada potensi-potensi penyimpangan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Di satu sisi saya percaya, bahwa oganisasi kepemudaan dimanapun tidak pernah ditatar untuk melakukan KKN, baik personal, institusional maupun struktural.Tapi disisi lain, jika dilihat dari gejala sosialnya secara historis, memang nyatanya banyak anak kandung “organisasi profetik”itu yang tersandung kasus KKN.Tidak etis jika hal ini dipungkiri, karena hal itu adalah salah satu naluri personal dan institusional.

Atau boleh dikatakan, sayap kecenderungan secara politik-kebudayaan (KKN) tersebut serta merta muncul bersamaan ketika mereka sedang memperjuangkan humanisasi dan liberasi, dan dalam waktu yang bersamaan melupakan wacana transendensi.

Namun yang tak kalah penting, tidak sedikit pula anak kandung “organisasi profetik” yang mampu menerjemahkan misi transendental ketika mengidentifikasi dirinya dengan batasan-batasan, arah serta tujuan yang telah secara tegas ditatar oleh organisasinya. Anak kandung yang tidak lupa untuk senantiasa lillah, billah, lirrasul, birrasul, dalam hal apa pun.

Termasuk ketika sedang melakukan transaksi politis dengan manusia lain yang sarat kepentingan, bahkan murni seratuspersen kepentingan. Tak jarang kepentingan tersebut menyamar sebagai ideologi, eksplisit maupun implisit. Yang tak jarang pula dalam transaksi tersebut memaksa pelakunya untuk berlaku kejam.

Sejauh ini yang saya pahami dari konsep-konsep Kuntowijoyo, bahwa praksis transendental tidak hanya mampu menyerap dan mengekspresikan secara dialektis sebuah realita, tapi juga memberi arah bagi realita tersebut, serta melakukan penilaian dan kritik sosial budaya secara beradab. Sekaligus menjadi petunjuk ke arah humanisasi dan liberasi.

“Organisasi profetik” kepemudaan yang sudah menentukan bahwa batasan, arah dan tujuannya adalah sesuai dengan Al-Qur’an, seharusnya –menurut Kuntowijoyo- menjadikan Al-Qur’an pula sebagai cara berfikir. “Ia akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmupengetahuan empiris dan ilmu pengetahuan rasional yang orisinal dalam arti sesuaidengan kebutuhan pragmatis masyarakat Islam, yaitu mengaktualisasikan misinya menjadi khalifah di bumi”.

Maka sangat urgen, bagi setiap organisasi yang “berkesadaran kenabian” untuk mempertanyakan ulang misi transendensinya. Jangan sampai, dapur organisasi yang memasak dengan serius kader-kadernya, menjadi tidak berarti ketika terpajang di etalase kepemimpinan, karena telah tercemar polusi kepentingan, serta dipencloki laler kekuasaan. Sehingga lupa arah, batasan, dan tujuan dunianya, serta menjadikan pribadinya untuk cenderung bebas nilai.

Ketika hal tersebut terjadi, kita patut bertanya: Quo Vadis profetisitas organisasi kepemudaan? Quo Vadis cendekia muda, pelajar, mahasiswa, Nabi kolektif bagi masyarakat?

Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Kedunglo, Kediri; anggota aktif Lingkar Studi “Matakuhati” Semarang.


Dari Nu Online: nu.or.id

Pondok Pesantren Tegal AlaSantri, PonPes, Kyai Pondok Pesantren Tegal

Selasa, 01 September 2015

Menciptakan Penulis Santri Melalui Pelatihan Jurnalistik

Yogyakarta, Pondok Pesantren Tegal. “Minimnya berita tentang NU di media massa cukup membuat kami resah. Ada apa ini? Bagaimana ini? Inilah kemudian yang menjadi salah satu alasan bagi Majalah Bangkit PWNU DIY dan media-media yang ada di pesantren Krapyak mengadakan acara Diklat Jurnalistik.”

Menciptakan Penulis Santri Melalui Pelatihan Jurnalistik (Sumber Gambar : Nu Online)
Menciptakan Penulis Santri Melalui Pelatihan Jurnalistik (Sumber Gambar : Nu Online)

Menciptakan Penulis Santri Melalui Pelatihan Jurnalistik

Demikian disampaikan oleh Muhammadun As selaku Pimred Majalah Bangkit PWNU DIY dalam acara Diklat Jurnalistik di Gedung PWNU DIY, Ahad Pagi (2/6). 

Muhammadun juga mengungkapkan bahwa pelatihan seperti ini merupakan langkah awal untuk menciptakan generasi-generasi penulis baru dari kalangan pesantren.

Pondok Pesantren Tegal

“Pelatihan ini merupakan langkah awal untuk menciptakan generasi baru dari kalangan pesantren. Ke depannya, pelatihan-pelatihan jurnalistik seperti ini akan diadakan sebulan sekali,” ungkap Muhammadun.

Sementara itu, sebagai narasumber, Jayadi Kasto Kastari, salah satu redaktur SKH Kedaulatan Rakyat, berhasil membuat peserta tidak mengantuk dengan gaya penyampaian materi yang disisipi dengan guyonan-guyonan segarnya.  

Pondok Pesantren Tegal

Salah satu point materi yang disampaikan Jayadi dalam acara tersebut ialah tentang kekurangan-kekurangan para penulis pemula di media massa.

“Sedikitnya ada empat faktor yang terkadang menjadi kekurangan bagi para penulis pemula di media massa. Pertama, masih lemah dalam tata bahasa (sistematika, gramatikal, keterbacaan, komunikatif). Kedua, kurang tepat dalam memilih diksi (pilihan kata). Ketiga, kurang dalam hal ejaan. Keempat, masih minim sekali pengetahuan tentang tanda baca,” terang Jayadi panjang lebar.

Acara yang dimulai pukul 09.00 dan selesai pukul 12.00 tersebut, dihadiri oleh sekitar 20 puluhan peserta. Mereka merupakan perwakilan dari pesantren-pesantren yang ada di Krapyak.



Redaktur    : Mukafi Niam

Kontributor: Rokhim, Nisa, Sholihin 

Dari Nu Online: nu.or.id

Pondok Pesantren Tegal Bahtsul Masail Pondok Pesantren Tegal