Sabtu, 11 Januari 2014

Menyantap Ikan Bakar Pemakan Tinja

Ikan dalam keadaan hidup-hidup maupun bangkainya, dihukumkan halal. Bagi yang hobi, ikan bisa diolah dengan pelbagai macam cara dan aneka bumbu. Ikan bisa dibakar, digoreng, dipepes, atau diolah dengan lain cara. Status hukumnya bisa sedikit bergeser bagi ikan pemakan kotoran di sebuah empang.

Namun demikian Rasulullah SAW seperti dalam riwayat Turmudzi mengajarkan umatnya untuk menunda selama beberapa hari jika mau mengonsumsi hewan pemakan kotoran. Dari sana ulama menetapkan kemakruhan memakan hewan demikian.

Menyantap Ikan Bakar Pemakan Tinja (Sumber Gambar : Nu Online)
Menyantap Ikan Bakar Pemakan Tinja (Sumber Gambar : Nu Online)

Menyantap Ikan Bakar Pemakan Tinja

Syekh Abu Zakaria dalam Syarah Tahrir mengatakan sebagai berikut.

? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

Pondok Pesantren Tegal

Pondok Pesantren Tegal

Makruh hukumnya mengonsumsi hewan pemakan kotoran baik itu hewan ternak, ayam, atau hewan selain keduanya. Maksudnya, kemakruhan itu meliputi anggota tubuh hewan pemakan kotoran itu seperti susu, telur, daging, bulu, atau mengendarainya tanpa alas.

Ungkapan saya “anggota tubuh” lebih umum dibanding ungkapan “dagingnya”. Makruh ini dikarenakan ada perubahan pada dagingnya yang mencakup rasa, bau, dan warnanya. Menyantap daging hewan seperti ini akan tetap makruh hingga hewan ini dibiarkan hidup beberapa waktu agar ia memakan barang-barang yang suci. Tujuannya tidak lain agar tubuhnya kembali bersih dengan sendirinya tanpa bantuan sesuatu (seperti mencucinya hingga bersih).

Sementara Syekh Syarqawi dalam Hasyiyah-nya menyebutkan.

? ? ? ? ? ? ? ?

Yang dimaksud dengan “hewan pemakan kotoran” di sini ialah segala hewan yang memakan najis mutlaq (najis apapun itu) seperti tinja.

Uraian ini cukup terang menjelaskan kedudukan ikan pemakan tinja di sebuah empang, sapi yang berkeliaran mencari makan di tempat pembuangan sampah, ayam yang mengais-kais gundukan sampah, atau hewan lain yang memakan barang-barang kotor. Wallahu A’lam. (Alhafiz K)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pondok Pesantren Tegal Fragmen, Bahtsul Masail, Ahlussunnah Pondok Pesantren Tegal

Kamis, 09 Januari 2014

Ketika Hukum Syariat Islam Bicara Cinta Tanah Air

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Redaksi Bahtsul Masail Pondok Pesantren Tegal yang saya hormati, beberapa waktu ada seorang teman lama datang ke rumah. Kami mengobrol ke sana-ke sini. Di tengah obrolan teman saya membicarakan soal Indonesia sebagai tanah air kita bersama.

Ia menyatakan bahwa cinta tanah air Indonesia tidak disyariatkan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ‘hubbul wathan minal iman’ (cinta tanah air sebagian dari iman) bukanlah hadits sehingga mencintai Indonesia sebagai tanah air itu bukan sesuatu yang masyru` atau disyariatkan karena tidak ada dalilnya.

Ketika Hukum Syariat Islam Bicara Cinta Tanah Air (Sumber Gambar : Nu Online)
Ketika Hukum Syariat Islam Bicara Cinta Tanah Air (Sumber Gambar : Nu Online)

Ketika Hukum Syariat Islam Bicara Cinta Tanah Air

Yang ingin saya tanyakan adalah apakah mencintai Indonesia yang merupakan tanah air kita dan dihuni oleh mayoritas umat Islam adalah memang tidak disyariatkan? Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Agung/Brebes)

Pondok Pesantren Tegal

Jawaban

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Tanah air sebagaimana yang kita ketahui bersama adalah negeri tempat kelahiran. Al-Jurjani mendefiniskan hal ini dengan istilah al-wathan al-ashli yaitu tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya.

Pondok Pesantren Tegal

? ? ? ? ? ? ? ? ?

Artinya, “Al-wathan al-ashli adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya,” (Lihat Ali bin Muhammad bin Ali Al-Jurjani, At-Ta`rifat, Beirut, Darul Kitab Al-‘Arabi, cet ke-1, 1405 H, halaman 327).

Dari definisi ini maka dapat dipahami bahwa tanah air bukan sekadar tempat kelahiran tetapi juga termasuk di dalamnya adalah tempat di mana kita menetap. Dapat dipahami pula bahwa mencintai tanah air adalah berarti mencintai tanah kelahiran dan tempat di mana kita tinggal.

Pada dasarnya setiap manusia itu memiliki kecintaan kepada tanah airnya sehingga ia merasa nyaman menetap di dalamnya, selalu merindukannya ketika jauh darinya, mempertahankannya ketika diserang dan akan marah ketika tanah airnya dicela. Dengan demikian mencintai tanah air adalah sudah menjadi tabiat dasar manusia.

Rasulullah SAW sendiri pernah mengekspresikan kecintaanya kepada Mekah sebagai tempat kelahirannya. Hal ini bisa kita lihat dalam penuturan Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan dari Ibnu Hibban berikut ini:

? ? ? ?: ? ? ? ? ? ? ?: ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

Artinya, “Dari Ibnu Abbas RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Alangkah baiknya engkau sebagai sebuah negeri, dan engkau merupakan negeri yang paling aku cintai. Seandainya kaumku tidak mengusirku dari engkau, niscaya aku tidak tinggal di negeri selainmu,” (HR Ibnu Hibban).

Di samping Mekah, Madinah adalah juga merupakan tanah air Rasulullah SAW. Di situlah beliau menetap serta mengembangkan dakwah Islamnya setelah terusir dari Mekah. Di Madinah Rasulullah SAW berhasil dengan baik membentuk komunitas Madinah dengan ditandai lahirnya watsiqah madinah atau yang biasa disebut oleh kita dengan nama Piagam Madinah.

Kecintaan Rasulullah SAW terhadap Madinah juga tak terelakkan. Karenanya, ketika pulang dari bepergian, Beliau memandangi dinding Madinah kemudian memacu kendarannya dengan cepat. Hal ini dilakukan karena kecintaannya kepada Madinah.

? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

Artinya, “Dari Anas RA bahwa Nabi SAW apabila kembali dari berpergian, beliau melihat dinding kota Madinah, maka lantas mempercepat ontanya. Jika di atas atas kendaraan lain (seperti bagal atau kuda, pen) maka beliau menggerak-gerakannya karena kecintaanya kepada Madinah,” (HR Bukhari).

Apa yang dilakukan Rasulullah SAW ketika kembali dari bepergian, yaitu memandangi dinding Madinah dan memacu kendaraannya agar cepat sampai di Madinah sebagaimana dituturkan dalam riwayat Anas RA di atas, menurut keterangan dalam kitab Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani menunjukkan atas keutamaan Madinah disyariatkannya cinta tanah air.

? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?

Artinya, “Hadits tersebut menunjukan keutamaan Madinah dan disyariatkannya mencitai tanah air serta merindukannya” (Lihat, Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari Syarhu Shahihil Bukhari, Beirut, Darul Ma’rifah, 1379 H, juz III, halaman 621).

Dari penjelasan singkat ini maka setidaknya kita dapat menarik kesimpulan bahwa mencintai tanah air merupakan tabiat dasar manusia, di samping itu juga dianjurkan oleh syara` (agama) sebagaimana penjelasan dalam kitab karya Ibnu Hajar Al-Asqalani yang dikemukakan di atas.

Kesimpulannya adalah bahwa mencintai tanah air bukan hanya karena tabiat, tetapi juga lahir dari bentuk dari keimanan kita. Karenanya, jika kita mendaku diri sebagai orang yang beriman, maka mencintai Indonesia sebagai tanah air yang jelas-jelas penduduknya mayoritas Muslim merupakan keniscayaan. Inilah makna penting pernyataan hubbul wathan minal iman (Cinta tanah air sebagian dari iman).

Konsekuensi, jika ada upaya dari pihak-pihak tertentu yang berupaya merongrong keutuhan NKRI, maka kita wajib untuk menentangnya sebagai bentuk keimanan kita. Tentunya dalam hal ini harus dengan cara-cara yang dibenarkan menurut aturan yang ada karena kita hidup dalam sebuah negara yang terikat dengan aturan yang dibuat oleh negara.

Saran kami, cintailah negeri kita dengan terus merawat dan menjaganya dari setiap upaya yang dapat menghancurkannya.

Demikian jawaban kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq,

Wassalamu’alaikum wr. wb.


(Mahbub Maafi Ramdlan)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pondok Pesantren Tegal Syariah, Pemurnian Aqidah, Pendidikan Pondok Pesantren Tegal

Minggu, 05 Januari 2014

Pesantren Al Huda Bentuk “MK”

Sumenep, Pondok Pesantren Tegal  

Majelis Kitab Al-Huda (MKA) Gapura Sumenep, Jumat (11/1), dilaunching di Aula MTs Al-Huda. Proses pembentukan MKA sudah dimulai sejak awal Desember 2012 lalu.

Pesantren Al Huda Bentuk “MK” (Sumber Gambar : Nu Online)
Pesantren Al Huda Bentuk “MK” (Sumber Gambar : Nu Online)

Pesantren Al Huda Bentuk “MK”

Hadir pada kesempatan tersebut perwakilan dari Yayasan Al-Huda, Penasehat Forum Komunikasi Alumni Al-Huda (Fokada), Pembina Sekolah, Kepala Sekolah satuan pendidikan Al-Huda dan peserta MKA.

Peresmian MKA dikemas dengan dialog mengangkat tema ”Posisi Fiqih dalam Islam” dengan menghadirkan K. Muhsi Mas’ud, Pengasuh Pondok Pesantren Al-In’am, Gapura.

Pondok Pesantren Tegal

Dalam pemaparannya, ia banyak banyak menjelaskan pentingnya melakukan ijtihad secara terus menerus. Dengan demikian, pintu ijtihad tidak pernah tertutup.

“Karena fiqih hasil ijtihad, maka fiqih bukan harga mati yang tidak bisa ditawar. Fiqih bukan seperti metrai ketika ditandatangani tidak bisa diganggu gugat,” katanya dihadapan peserta MKA.

Pondok Pesantren Tegal

Ke depan, MKA akan melakukan bahtsul masail setiab bulan dengan teman-tema sosial-keagamaan.

“Juga akan melakukan pembinaan kepada peserta melalui praktik baca kitab kuning menggunakan Jurmi’ah (untuk pemula) dan Safinatun Najah (untuk pengembangan),” kata Ketua Fokada, Fithratul Qayyimah.

Peserta MKA ada 30 orang mulai tingkat MI, MTS, dan MA. 15 kelas dasar, 15 kelas pengembangan. “Peserta memang dibatasi, karena target awal hanya 20 orang,” lanjutnya.

Redaktur   : Mukafi Niam

Kontributor: M Kamil Akhyari

Dari Nu Online: nu.or.id

Pondok Pesantren Tegal Hikmah Pondok Pesantren Tegal