Selasa, 27 September 2016

Sewindu Satu Cinta (Chapter I)

Oleh: Muhammad A Idris



Cinta yang pernah aku pilih adalah keputusan terpenting di setiap episode perjalanan hidupku. Menjadi dewasa atau tidak kadar kelelakianku dipengaruhi oleh seberapa besar perhatian yang kutumpahkan terhadap makhluk yang bernama cinta. Maka kukabarkan pada setiap lelaki serta perempuan bernyawa, jangan pernah engkau sesali apalagi berduka tak berkesudahan lantaran kesedihan bertubi-tubi datang. Lantas memutuskan untuk hidup? sendiri, ngejomblo dengan menunda rahmat Allah yang bernama cinta.

Sewindu Satu Cinta (Chapter I) (Sumber Gambar : Nu Online)
Sewindu Satu Cinta (Chapter I) (Sumber Gambar : Nu Online)

Sewindu Satu Cinta (Chapter I)

Ok, fine…, setiap kalian bolehlah antipati dengan kasmaran apalagi sampai terjatuh di kubangan cinta. Jangan sesekali terbesit untuk menyalahkannya, meski engkau mengenalnya dengan luka. Siapa tahu Allah sedang mengajakmu mengolah rasa, mengenal bahagia dengan jalur patah hati, cinta bertepuk sebelah tangan alias tak berbalas. Aku pun sempat dibuatnya pasrah. Kututup rapat-rapat setiap celah yang berpotensi mengundang kangen akan wanita, macam paspampres mengawal Pak Presiden; ketat dan sadis. Sampai kapan kudzolimi sunnatullah? Inkar bi ni’mah? Semakin menjauh, semakin jelas butuh tempat meneduh. ?

“Mas..bangun dong, sudah siang ini. Jangan biasakan shubuhmu? kesiangan!”

Pondok Pesantren Tegal

“Mas Dot,… bangun..! anak lelaki tunggal hobinya kesiangan, mau jadi apa kelak nanti?!”

Nada tinggi inilah membuatku semakin sayang terhadapnya. Kulempar selimut, matikan AC, bergegas ke kamar mandi. Kalau tak segera? beranjak, dinginnya AC campur lembut selimut kompaklah sudah. Siapa saja di di dekatnya akan terus berlayar di dunia mimpi alias molor tak berkesudahan. Pantas ibu marah, jam di handphoneku menunjukkan pukul lima tiga puluh. Sambil menahan kantuk subuhan kulaksanakan. Baru salam terakhir, teriakan dari dapur menyambar lagi sekaligus memastikan anaknya benar-benar bangun.

Pondok Pesantren Tegal

“Bagaimana kabar Marcel?“

“Baik, Bu, kayaknya mau liburan kuliah. Habis ujian semester kayaknya.”

“Kapan kalian terakhir ketemu?“

“Lusa lalu juga ketemu. Bu.. Ayam baru selesai berkokok, anak orang ditanya terus. Aku apa Marcel sih anaknya Ibu?”

“Hush…..jangan cemburu kamu,” tandas ibuku.

“Sini bantu Ibumu menyiapkan sarapan. Hari ini antar bekal buat Marcel apa tidak? Biar sekalian banyak masaknya.”

“Masuk siang dia, kan habis ujian semester. Jadi libur deh jadi penghantar cinta hahahaha.”

“Masih kecil ko cinta-cintaan, nanti sesudah kantongi titel sarjana dan sukses bekerja bolehlah bicara cinta.”

Sambil memegang talenan kurangkul pundak ibu, lalu? kucium pipinya. Itu ritual di pagi hari, memasak bersama adalah momentum quality time. Jelek-jelek aku jago memasak, maklum bakat keturunan dari ayahku. Beliau jam segini biasanya perjalanan pulang dari hotel tempatnya bekerja. Kepala chef di restoran hotel berbintang jadi kebanggaan ayah dan keluarga besarnya. Kedua pamanku juga jadi juru masak yang sama. Jadi wajar jika ponakannya berbakat melanjutkan, setidaknya membantu ibu serta calon ibunya anak-anak kelak.

Hari ini begitu cerah bergairah. Seakan langit-langit Allah mengajak bicara denganku. Apa berkat memasak bareng ibu? atau perasaanku saja, lantaran pagi-pagi sudah membincangkan marcel. Teduh rindang seolah hari ini adalah waktu yang sengaja disediakan Allah untuk menghiburku.

Perjalanan ke sekolah nampak agak berbeda, visioner penuh percaya diri. Entah gejala apa ini, membingungkan. Sarapan nampak biasa saja, tak ada yang istimewa. Tahu tempe goreng beserta sambal kentang menu andalannya.Hampir seminggu mendung merundung. Gerimis sesekali? hujan? bercampur angin kencang cukup intens menemani. Tapi sudahlah, bagiku sama saja. Hujan atau tidak yang terpenting perut kenyang sampai sekolah pun tak terlambat.

***

Kring….Kring…..Kring…, bel sekolah tanda jam ekstrakurikuler selesai.? Sore ini cukup padat kegiatan; Pramuka, PMR, marchingband pokoknya banyak. Kebetulan? aku jadi? senior aktivis keagamaan sekolah. Jabatanku cukup keren, ketua bidang Imtaq OSIS. Lumayan sibuk untuk anak seumuranku.

Kutarik gas motor sekencang-kencangnya, bergegas agar tak terlambat menjemput Marcel. Cara naik motorku Tidak kalah seru dengan pembalap Rossi asal Itali. Rutinitas sakral ini bukti dorongan cinta, tak peduli? nyawa? taruhannya. Serasa sempit jalanan Jakarta, menyelinap di sela –sela mobil, belumlah angkot dan bajai ikut andil. Demi kamu, demi waktu yang menunggu. Demi Allah aku benar-benar dimabuk kepayang oleh gadis rantau campuran Sumatra-Kalimantan. Sepanjang perjalanan, rapalan ini bergumam? ? ? ? ? ? seperti mau setoran vocabulary atau mufrodat dengan santri senior.

Separuh lebih dari seminggu, sore ini kuhabiskan untuknya. Ini bukan soal falling in love, sehingga amat rajin aku nampakkan kebaikanku. Semata-mata harga diri seorang lelaki di hadapan wanita. Berbunga bunga rasa hati ini, ingin segera aku berjumpa dengannya. Sesekali menyusun beberapa kata, agar saat bertemu nanti nampak lebih siap. Ekspresi wajah, tatapan mata, sudah aku latih sedemikian rupa.

Biasanya butuh waktu tiga puluh sampai empat puluh menit sampai? Kampusnya. Kami punya tempat favorit untuk saling menunggu. Ya.., minimarket dekat kampus jadi saksi seserius apa hubungan kami.

Seminggu empat kali aku menjemputnya. Ia termasuk tipe yang asyik jadi teman curhat sekaligus berbagi pandang yang menenangkan. Meski sudah tiga tahun, kami belum resmi berpacaran. Aku belum pernah menyatakan cinta, apalagi i love you. Pada waktu itu memang belum begitu penting ekspresi yang begitu ekspresif, perbedaan usialah yang menjadi kendala hubungan ini. Ingin sekali aku nampak lebih dewasa, tetapi selalu saja gagal lantaran tutur kata lembut serta humble pergaulannya….

Kini aku bergaul dengan mahasiswibroadcasting di salah satu universitas swasta di Jakarta. Maklum sejak satu sekolah hobinya pegang kamera serta menulis cerita drama. Mantan ketua teater sekolah tepatnya. Sejak pertama kali masuk sekolah, ia menjadi mentor di orientasi siswa. Marcel satu tahun lebih tua, kakak kelas sekaligus tetangga? komplek. Seringnya berjumpa saat pergi sekolah, jadi motivasi tersendiri.Terutama saat Ramadhan, bermain dan saling sapa sebelum jama’ah terawih dimulai jadi bagian adegan tak terlupkan sepanjang aku bergaul dengannya.

Ibunya tergolong cuek dan tak terlalu ekspresif mengurus anak. Suaminya pergi tanpa kabar, pamitnya kerja tapi uang bulanan pun tak kunjung datang. Untung saja aku lelaki pertama selain ayah. Tentu tak terlalu sulit menunjukkan sisi ngemong. Dua minggu sekali kukirim bahan pokok kerumahnya. Kubeli dengan uang tabungan, tapi lebih sering dari sisa uang belanja bulanan ibu. Setidaknya rutinitas ini membuat sikapku lebih siap menjadi pemimpin, setidaknya di hadapan Marcel. Meski baru delapan belas tahun, namun fantasi bepikirku seakan siap menjadi lelaki sempurna di matanya.

***

Tak kurang dari seratus meter, aku sudah bisa memandang wajah terhijab. Baru setahun ia memutuskan berhijab, persis di ulang tahunnya yang ke sembilan belas. Meski tergolong baru mengenakan, ia termasuk orang yang cukup bertanggung jawab atas pilihannya. Perlahan gaya berpakainnya menyesuaikan dengan apa artinya berhijab. “Be confident with hijab” itu yang selalu ia katakan pada temen temennya.

“Asssalamu’alaikum, Marcel,” sapaku.

“Wassalamu’alaikum, Dot,” jawabnya.

“Sudah lama menunggu ya..? Maaf jalan macet banget. Lima belas menit lebih awal aku jalan, berharap menunggu ketimbang ditunggu. Ada demo buruh di ujung perempatan depan.”

“Ngak apa-apa, sesekali biarlah aku yang menunggu. Toh selama ini kamu yang selalu menunggu,” tegasnya.

“Iya sih, tapi aku menginginkannya. Dengan menunggumu spiritualku tergarap, sabar dan sabar perkuat harapan. Persis seperti kamu memutuskan untuk berhijab,” jawabku.? ? ? Sesekali harus mendayu, sebab anak sastra lawan bicaranya.

“Ah..bisa aja kamu. Oh ya.., kita mau langsung pulang atau makan? Laper banget, seharian cuma ngemil di kelas. Mendadak ada ujian susulan.”

“Boleh….lapar juga soalnya. Ayo kita ke warung favorit; pecak lele Bang Saleh.”

Sepanjang jalan aku tak banyak bicara, cukup sesekali saja. Bertanya tentang kuliah dan kabar ibunya. Keluarga kami cukup akrab, tak heran jika kedekatanku dengan Marcel sudah terpantau. Marcel anak semata wayang, sedangkan aku lelaki pertama dari tiga saudara.

Allahu Akbar Allahu Akbar

Laa ilaaha illallah….”

Magrib pun tiba, persis setelah kuparkir motor di warung favorit kami. Menunya menggairahkan, pedas dan segar. Mushallanya nyaman untuk shalat sembari? menunggu pesanan. Kami pesan pecak lele dua porsi dan jeruk hangat. Finally, aku belajar mengimaminya. Meski sebatas shalat, cukup bagiku untuk menunjukkan padanya kalau mahfudot layak menjadi imam hidupnya.

Kebetulan warung makan belum begitu ramai pengunjung, jadi mushalla kecil itu bisa? kami gunakan berjamaah. Untung saja sempat ngaji di Jawa Timur tepatnya masuk pesantren saat SMP. Berbekal hafalan ayat-ayat pendek, cukup bagiku untuk jadi imam shalat serta mengajari anak-anakku kelak. Sengaja kupilih surat Al-Ikhlas dan Al-Fil untuk rakaat pertama dan kedua, sembari berharap fadhilah dari ayat ayat yang terucap.

Meja pojokan tepi jalan selalu kami pilih selagi kosong pengunjung. Tak ada maksud lain, hanya untuk mempermudah ingatan serta menumpuk kenangan. Di usia kami terkadang butuh banyak bantuan simbolik untuk saling mengenang.

Pecak lele pun datang, rempah-rempah tak beraturan, nampak kasar dan sedikit kuah jadi ciri khasnya. Marcel nampaknya sudah tak sabar, lahap sekali makannya. Benar-benar lapar, syukurlah segera teratasi. Mahasiswi yang cukup tekun dan selalu berprestasi saat sekolah. Sebagai juara tiga besar selalu ia dapatkan, semacam prestasi langgananlah. Hobi sastra, tak membuatnya memilih jurusan bahasa atau ilmu sosial. Ia adalah anak eksak yang menekuni ilmu fisika. Terlebih soal sistem kerja cahaya, ia jatuh cinta dengan eksistensi matahari. Memancarkan sinar, saling memantul, terpantul pada rembulan. Meski sebagian besar manusia tersihir oleh indahnya rembulan purnama, lantas melupakan sumber cahanya matahari. Lumrah jika broadcasting ditekuninya, fotografi termasuk di dalamnya. Sebab fotografi adalah seni melukis cahaya. Cukup logis kan kalau dia ambil jurusan di kampusnya.

Kebahagiaan terpancar di wajahnya, tak peduli lantaran pecal lele atau karena makan malam denganku ia bahagia. Kegembiraan Marcel adalah kebahagiaanku juga. Cukup sudah aku memandangnya, senyum diwajahku pun tumpah tak terbendung. Hampir gila dibuatnya, tapi apa boleh buat di sinilah kenikmatan yang kutunggu. Tak banyak berbuat tapi berlimpah kesenangan.

Entah jin dari mana yang meracuni pikiranku, tiba-tiba aku terbesit ingin mengungkapkan cinta. Cinta yang sebenar-benarnya cinta. Padahal selama tiga tahun Allah mencukupkan hatiku untuk ikhlas, mengalir, menjalani rutinitas dengannya.

Ataukah ini yang namanya rahmat Allah? Mendadak datang sedikit memaksa. Tatapanku kosong, hati bergetar seakan ingin keluar berbibicara langsung dengan Marcel. Mungkin sudah tak sabar, lantaran terlalu lama bibir ini diam dalam sekam. Terlalu asyik dengan rutinitas, sampai lupa cinta yang berkualitas.

Tak sengaja menyaksikannya berwudlu, berbenah kerudung serta menengadahkan doa? adalah puncak ternikmat. Jadi tak ada alasan? apa pun untuk tidak mempertahankannya, memilihnya sekaligus bersyukur mengenalnya. Kerudung terselempang ke belakang dengan sisa air wudlu menempel di wajahnya seakan melekat dalam pikirku.

“Allah, Allah, Allah, engkau maha membolak balikkan hati. Bukankah aku cukup taat sebagai hamba? Kenapa engkau uji dengan pemandangan yang tak seharusnya aku lihat? Tidak gampang hidup di pinggiran kota besar bisa shalat magrib tepat waktu apalagi berjamaah perlu perjuangan keras.”

“Selama sekolah, berpuluh-puluh kali menyaksikannya tanpa kerudung. Aku pun biasa saja. Lantas apa bedanya? Inikah ujian dari sabarnya mencintai? Jangan-jangan hanya bisikan jin penunggu warung Bang Saleh saja? Atau bonus istiqomah kuantar jemput wanita tholabul ilmi; kuliah.”

Perang batin berkecamuk. Belum kutemukan jawabannya, Marcel menegurku.

“Dot…ko nggak makan? Katanya laper? Ntar kurus loh.”

“Ayo makan dong ? ulang dia.

“Siap….habis ini aku makan kok. Tenang aja pasti habis, kalau memungkinkan nambah nasi nanti.”

Meski tak lagi hangat, perlahan kusantap dengan penuh gundah. Andai saja paranormal di sini, pasti sudah terbaca dialektika tubuhku; akal pikiran, batin serta kesiapan mental berperang melawan waktu. Tak kalah heroik dengan perang Badar saat? itu.

?

“Dot aku ke belakang dulu ya,” pamit Marcel.

Kupercepat santapanku, sambil memandang jauh peristiwa yang menggetarkan tadi. Ya…sisa air wudlu diwajahnya adalah bulir penampungan doa. Ainul yaqin; huruf demi huruf surat Al-Ikhlas dan Al-Fill yang aku baca tadi pasti turut serta mengamininya. Wallahu alam

Ini sungguh bukan malam yang kurencanakan. Seperti lelaki pada umumnya, berminggu-minggu menyiapkan tempat, setting acara? agar nampak dramatis. Menghadirkan konflik atau ngambek beberapa hari sebelumnya agar tampil maksimal, romantis dan berkesan. Sewa grup musik, bunga, lilin atau butuh pertolongan simbolik lainnya jadi kebutuhan dasar menyatakan cinta. Boleh juga sih…, halal dan sah-sah saja. Bagiku.., bukan itu yang terpenting. Peristiwa getaran cinta itu yang kuinginkan; romantis tidaknya bukan disebabkan drama simbolik melainkan mutlak kemauannya Allah. Ini otoritasnya Allah, aku harus mengutarakannya. Perkara dia suka atau tidak kita lihat nanti.

Marcel sudah duduk di depanku sambil berbenah dan minum jeruk hangat. Suasana cukup santai, aku manfaatkan betul untuk menutupi grogi. Maklum sudah tahun ketiga baru mengungkapkan cinta.

“Marcel.., kalaupun aku jatuh di lubang hati yang salah, meskipun tertelungkup di biduk yang keras, itu pun juga bukan kesalahan melainkan ketidakberuntungan saja “we have to know my honey, we must be strong, insyaallah, Allah akan hadir dalam ta’aruf ini.”

“Maksudmu apa, Dot..?” sahutnya.

“Ini perasan sekaligus harapan,” imbuhku.

“Kamu jangan ngaco, ah.., malam ini tak selayaknya kamu rusak dengan obrolan beratmu itu. Aku sangat nyaman menjalani hubungan ini.”

“Aku tak pernah ngaco apalagi ngawur tentang perasan ini, tentang kita, about you. Aku juga tak mengerti kenapa harus berucap demikian. Sepanjang engkau mengunyah, atiku terkoyak lantaran getaran ini hadir. Sudah kutolak berulang kali, kuusir sejauh mungkin, namun semakin bergetar seakan protes kalau tak segera kusampaikan.”

Mendadak datang tanpa kabar. Mulanya aku tak percaya, tapi siapa yang bisa menolak kalau Allah sudah berkehendak.

“Apakah kamu tak merasakannya? Ini cinta…Marcel..! Love..! Mutlak otoritasnya Allah. Kapan dan dimana aku pun tak bisa mengelak. Tugasku adalah mengutarakan, menyampaikan yang Allah titipkan.” Sambil menahan cemas penuh keyakinan? aku menjelaskannya. Tawakal adalah kepastian, meski jantung ikut gemetar.

Ia nampak diam, khusyuk mendengarkan khotbah mahabbahku. Pandangan matanya mulai tak fokus, sesekali ia buang muka. Aku tahu ini adalah gaya standar bagi siapa saja yang sedang dirundung gelisah. Mulai tak nyaman rupanya, sama sepertiku. Tak terasa tisu satu gulungan di depanku habis. Kuusap-usap meja makan yang beralas taplak sponsor salah satu brand minuman, seakan genangan air tumpah ruah.

Belum sempat kami mengheningkan rasa, suara riuh pengamen yang mengecer budayanya sendiri datang. Gesekan rebab tak beraturan, pakaian kumel tak mencerminkan pelaku budaya. Seenaknya saja boneka bambu besar berbalut baju khas Betawi geal-geol seolah menari riang gembira. Aku tak keberatan soal ngamennya, itu hak setiap orang mencari nafkah. Tapi hati kecil ini belum terima saja, budaya yang luhur kini diecer di pinggiran jalan, seolah budaya asing yang baru dikenal warganya. Aku sangat keberatan. Bukan lantaran sedang bercemas muka , tapi sudah lama aku ingin protes. Meski dalam batin, setidaknya kubela kebudayaan itu.

“Dot.., aku rasa kita sudahi dulu perbincangan ini, terima kasih atas segalanya. Usiamu satu tahun lebih muda tetapi aku merasa nyaman. Kedewasaan yang kamu tunjukkan, bagiku cukup. Bukan hanya cinta yang kamu? hidupi, tetapi tentang kita seakan selalu hidup dan terus hidup.”

“Cinta belum menjadi kebutuhan. Perhatian yang aku inginkan,” tegas Marcel.

Bagai disambar petir tapi tak gosong saja bedanya. Di sinilah ujian terberat, emosi berkecamuk, marah, kesal sekaligus plong? rasanya. Ketakutan yang kusimpan selama ini? sudah? ? ? jelas jawabannya. Masih sanggupkah aku memandangnya? Memuja kebaikannya? Bersyukur mengenalnya ? Meski cinta tak ia butuhkan. Atau belum dibutuhkan, hiburku. Aku mencoba jadi pendengar yang baik, meski akal pikirku tak sanggup menerima.

“Keluargaku kamu urus. Dua minggu sekali kebutuhan dasar; gula, beras? sesekali mie instan beberapa bungkus. Namun untuk menjalani hubungan ini,? itu saja tak cukup. Dua tahun terakhir aku merasa ada yang salah komunikasi kita. Setiap pagi kamu bawakan bekal makan untuk kuliah. Jujur aku senang, seakan peran ayahku engkau gantikan. Di sisilain, perempuan macam apa aku? ini, urusan makan saja lelaki yang menyiapkan. Memang semenjak ayah meninggalkan kami lima belas tahun lalu, keteguhan ibuku mulai goyah untuk menghadapi kerasnya Jakarta”.

“Aku malu, Dot, malu…..”.

“Kenapa harus malu? Semua itu kulakukan atas dasar teman, tetangga? yang ujungnya cinta. Apa ada yang salah?” sahutku.

“Mau sampaikapan kau perpanjang budi baikmu? Sehingga aku pun lupa cara menghitungnya.”

Dialog cukup panjang dari Marcel. Tegas tapi tetap terpancar lemah lembut tutur katanya, meski klise berbungkus iba. Aku pun tak sanggup membantahnya. Perasaan campur aduk, shock campur bingung. Tapi harus bagaimana lagi, mau tak mau harus aku lalui. Memang tak gampang menahan perasaan sejauh ini, kupendam dalam-dalam agar tak saling melukai. Cemburu,was-was, saling marah tak beralasan, mendebatkan hal-hal remeh.Ya. … itulah kami. ?

“Begitu rapi, sistematis dan terukur jawabanmu. Tak akan kusesali aku jatuh dan terjatuh di kubangan cintamu, Marcel. Segeralah berkemas, lalu kuantarkan pulang sebagai bentuk belajar ikhlas mengenalmu.”

Tak ada pilihan, selain bersikap bijak. Telak lima kosong, seperti Real Madrid mempecundangi Granada di La Liga semalam. Tapi mencintai bukanlah pertaruhan untung rugi, kalah menang, melainkan siap bertaruh meski tak balik modal.

***

Sesampainya di rumah satu-satunya tempat yang kutuju adalah kamar mandi. Ingin segera kunyalakan kran air kemudian? duduk bersandar? di bawahnya. Maklum tak ada shower, sekejap air tandon hujan menguyur sekujur tubuh. Tarik napas dalam-dalam, keluarkan pelan-pelan. Kuulagi beberapa kali, konon ini meditasi termudah penghilang stres.

Apa yang salah dalam diriku, atau terlalu buru-buru? Andai sabar sedikit apakah Marcel menerimanya? Apa mungkin tubuhku yang gembul, membuatnya tak nyaman. Mungkin ia mulai malu dekat dengan lelaki brondong, sementara ia anak kampus dengan segudang lelaki di sekitarnya.

Tak ku sangka, malam ini adalah kali pertama menjadi lelaki tak bertuan. Tatapan mataku kosong, memucat wajahku, seakan tak menemukan gairah hidup. Jadi ini patah hati? Broken heart? Tercampak dari cinta yang tak lagi nampak? Semakin meracau tak karuan. Badan ini roboh di sofa kamar, memaksa tidur berharap esok segera datang. Mata terpejam, namun hati terhujam, pedih hati ini. Nampak rasional bagi pecundang cinta, jika minum obat nyamuk dianggap solusi mutakhir. Ah....masak sekonyol itu, kutukar nyawa dengan cinta minimarket.

“Bismikallahumma ahya wabismika amuut; kalau Allah saja berkehendak mematikan sekaligus membangkitkan hambanya di kala tertidur, mana mungkin sepenggal cinta tak mampu dihidupkannya.”

Amin...

Masjid Jamek, Kuala Lumpur-Malaysia 17, Desember 2016



Penulis saat ini ngabdi di Yayasan MataAir Jakarta mataair.or.id



Dari Nu Online: nu.or.id

Pondok Pesantren Tegal Pesantren Pondok Pesantren Tegal

Kamis, 22 September 2016

Naik Bus Haram

Salah satu jamaah haji asal Kabupaten Subang, Kang Ujang, memang terkenal tekun dan getol mencari pahala. Saat ditanya kenapa rajin banget, Kang?

“Mumpung di dieu (di sini),” ujar Kang Ujang dengan senyum penuh harapan.

Naik Bus Haram (Sumber Gambar : Nu Online)
Naik Bus Haram (Sumber Gambar : Nu Online)

Naik Bus Haram

Jumat pagi  ia keluar sendirian dari tempat pemondokannya untuk berangkat ke Masjidil Haram.

Kang Ujang menunggu bus lewat di pinggir jalan dekat apartemennya. Beberapa kali bus berhenti menyahuti isyarat tangannya. Sembari berhenti kondekturnya teriak-teriak, “Haraaaam! Haraaaam!”

Pondok Pesantren Tegal

Mendengar teriakan itu Kang Ujang yang sudah mendekati pintu bus pun mengurungkan niatnya. “Waduh, kenapa berhenti, kalau tidak boleh naik?” gerutu Kang Ujang.

Rupanya Kang Ujang tak paham; teriakan si kondektur bermaksud menunjukkan bahwa bus sedang menuju ke Masjidil Haram. (Ahmad Rosyidi)

Pondok Pesantren Tegal

Dari Nu Online: nu.or.id

Pondok Pesantren Tegal Anti Hoax, News, Berita Pondok Pesantren Tegal

Minggu, 11 September 2016

Mahasiswa Indonesia Raih Summa Cum Laude di Maroko

Menkes, Pondok Pesantren Tegal. Di penghujung tahun 2012, negeri terbenamnya matahari, Maroko. Kembali melahirkan seorang doktor untuk Indonesia. Jum’at sore, 21 Desember 2012 bertempat di auditorium Az-Ziyani, Fakultas Sastra dan Humaniora, Universitas Moulay Ismail-Meknes. Sekitar pukul 15.30 waktu setempat, digelar sidang disertasi doktoral Ust. M Helmi Basri, MA.

Mahasiswa Indonesia Raih Summa Cum Laude di Maroko (Sumber Gambar : Nu Online)
Mahasiswa Indonesia Raih Summa Cum Laude di Maroko (Sumber Gambar : Nu Online)

Mahasiswa Indonesia Raih Summa Cum Laude di Maroko

Tema disertasi yang diujikan ialah tentang maqasid syariah, dengan judul " At-Taamul al Maqaasidy maa as-Sunah an-Nabawiyah wa Tanziiluhu ala Badli al-Waqaaii al-Muaashiroh fi Indonesia" (Interaksi Maqasid terhadap Sunnah Nabawiyah dan Pengaplikasiannya terhadap beberapa Realita Kontemporer di Indonesia) dengan didampingi tiga tim penguji.

"Team penguji terdiri dari tiga orang, yakni Dr Mohammed As-Saisie (ketua), Dr Farid Syukri (anggota), dan Dr Moulay Umar Bin Hammad (anggota). Sedangkan sebagai pembimbing yakni Dr Khalid Muqali," ujar Herdiyansah Amran salah satu mahasiswa Indonesia di Maroko yang menghadiri acara tersebut.

Pondok Pesantren Tegal

Sidang juga dihadiri oleh Pelaksana Pensosbud KBRI Rabat, Suparman Hasibuan, serta sejumlah perwakilan anggota PPI Maroko dari tiap-tiap daerah masing-masing. Diantaranya, dari kota Rabat, Casablanca, Mohammedia, Kenitra, Fes, dan dari kota Meknes sendiri. Tampak pula sebagian mahasiswa Maroko juga ikut menghadiri acara tersebut.

Pondok Pesantren Tegal

Sidang disertasi yang berjalan cukup menarik dan sedikit menegangkan ini, berjalan lancar dan sukses. Walau ada beberapa kritikan dari dewan penguji, namun Ust. Helmi Basri, MA. berusaha mempertahankan apa yang beliau tulis dalam disertasinya.?

Setelah break sejenak untuk melaksanakan sholat Maghrib berjamaah, acara dilanjutkan dengan pembacaan hasil keputusan sidang. Dalam keputusan ini, dewan penguji menganugerahkan predikat "Summa Cum Laude" (Musyarrof Jiddan) kepada Dr Helmi Basri, MA.

Herdi juga mengatakan bahwa, dengan gelar Doktor yang diraih oleh Ust. Helmi Basri sore kemarin. Maka, selama tahun 2012 ini, Maroko telah menelorkan sebanyak 11 serjana-serjana muda untuk tanah air tercinta. Dengan rincian 6 orang Strata 1 (LC), 3 orang Strata 2 (Master), dan 2 Orang Strata 3 (Doktor).

Dalam kesempatan, ini ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Maroko H Habib Chairul M, Lc. Serta anggota PPI Maroko dan warga Indonesia di Maroko memberikan apresiasi yang sangat besar kepada Ust, Helmi Basri.

Ketua PPI Maroko H.Habib Chairul M, Lc. Menyampaikan bahwa hal ini tentu menjadi kebanggan kita bersama sebagai bangsa Indonesia. Semoga dengan semakin banyaknya alumni lulusan Negeri Maghribi ini, dapat menambah warna baru dalam khazanah keilmuan dan pemikiran keislaman di tanah air. Amiin.

Redaktur ? ? : Mukafi Niam

Kontributor: Kusnadi El-Ghezwa?

Dari Nu Online: nu.or.id

Pondok Pesantren Tegal Halaqoh, Pahlawan Pondok Pesantren Tegal

PBNU Berencana Tertibkan Aset Berupa Lembaga Pendidikan

Jakarta, Pondok Pesantren Tegal. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berencana melakukan penertiban sejumlah aset, salah satunya yang berbentuk lembaga pendidikan. Langkah ini diharapkan bisa mengembalikan aset tersebut kembali menjadi milik NU.

Sekretaris Jendral PBNU H Marsudi Syuhud, mengatakan sejumlah aset berbentuk lembaga pendidikan yang akan ditertibkan mulai dari tingkatan  MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA, hingga Perguruan Tinggi dan Universitas. Sejauh ini aset-aset tersebut dikelola oleh perseorangan, yang mana kondisi itu terjadi sejak zaman pemerintahan orde baru.

PBNU Berencana Tertibkan Aset Berupa Lembaga Pendidikan (Sumber Gambar : Nu Online)
PBNU Berencana Tertibkan Aset Berupa Lembaga Pendidikan (Sumber Gambar : Nu Online)

PBNU Berencana Tertibkan Aset Berupa Lembaga Pendidikan

"Jadi dulu ceritanya aset-aset itu diancam ditutup oleh orde baru, dan untuk menyelamatkan statusnya dirubah dari milik NU dipercayakan kepada perseorangan yang saat itu menjadi pengelolanya. Masalah kemudian muncul setelah hingga saat ini statusnya tetap dikelola oleh perseorangan dan susah pengembaliannya," terang Marsudi di Jakarta, Senin (22/10).

Pondok Pesantren Tegal

Marsudi menambahkan, yang lebih mengkhawatirkan sejumlah aset yang dikelola oleh perseorangan tersebut saat ini terancam berpindah tangan melalui proses penjualan. Salah satunya Universitas Islam Nusantara (UNINUS) Bandung, Jawa Barat.

"UNINUS itu secara notarial sah milik NU, bukan perseorangan yang sekarang menjadi pengelolanya. Bukti-buktinya kami pegang," tegas Marsudi.

Pondok Pesantren Tegal

Dijelaskan oleh Marsudi, ketika didirikan pada tahun 1959 UNINUS sebelumnya bernama Universitas Nahdlatul Ulama (UNNU)  dan berada di bawah pembinaan Yayasan Pembina Kesejahteraan Universitas Nahdlatul Ulama. Pada tahun 1963 pengelolaannya dirubah di bawah Yayasan Universitas Nahdlatul Ulama, dengan KH E.Z. Muttaqien (Alm) ditunjuk sebagai pemimpin hariannya.

Gejolak sosial politik yang menerpa Indonesia di tahun 1965 - 1966 tak luput ikut mempengaruhi proses perkuliahan di UNNU. Meski demikian tak berselang lama kondisi bisa teratasi, yang mana UNNU berdiri kembali dengan nama baru UNINUS.

Seiring perjalanan waktu UNINUS semakin besar dan mampu bersaing dengan universitas-universitas yang baru berdiri. Meski demikian sejumlah permasalahan turut muncul secara silih berganti, baik di internal pengelola maupun persaingan dengan lembaga pendidikan lain. Puncaknya di era 90-an, yang mana UNINUS harus merelakan kampus I di Jalan Terusan Halimun No 37 Bandung ke pihak lain.

Dengan berpusat di kampus II di Jalan Soekarno - Hatta Bandung, UNINUS hingga saat ini memusatkan proses perkuliahan.

“Sekarang ancaman penjualan aset UNINUS kembali muncul. Kami tegaskan, barang siapa yang melakukan itu akan berhadapan dengan PBNU,” pungkas Marsudi.

Redaktur    : A. Khoirul Anam

Kontributor: Samsul Hadi

Dari Nu Online: nu.or.id

Pondok Pesantren Tegal Halaqoh Pondok Pesantren Tegal

Rabu, 07 September 2016

Rasulullah Bangunkan Keluarganya untuk Shalat Malam

Keutamaan waktu malam sebagai momentum pendekatan diri kepada Sang Kholiq sudah tidak diragukan lagi. Momentum tersebut, bagi hamba Allah diisi dengan qiyamul lail atau shalat malam.?

Selain sebagai sarana taqarrub (mendekatkn diri kepada Allah), malam juga menjadi sarana memohon ampunan dan memohon kecukupan kebutuhan hidup dengan limpahan rahmat dari Sang Maha Rohman dan Rahim. Shalat lail telah dianggap memiliki keutamaan di bawah keutamaan shalat fardu.?

Sebagaimana penjelasan dari Abi Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah qiyamul lail (shalat lail)” (HR. Muslim).

Rasulullah Bangunkan Keluarganya untuk Shalat Malam (Sumber Gambar : Nu Online)
Rasulullah Bangunkan Keluarganya untuk Shalat Malam (Sumber Gambar : Nu Online)

Rasulullah Bangunkan Keluarganya untuk Shalat Malam

Spirit shalat lail menguatkan ketauhidan, hablumminallah dan hablumminannaas. Dengan kata lain, kasalehan kepada Allah selalu sejalan dengan kesalehan kepada makhluk atau manusia. Seruan tersebut jelas tersampaikan dalam firman Allah, “Lambung mereka jauh dari tempat tidur dan mereka selalu berdoa kepada Robb mereka dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada mereka.” (QS. AS-Sajadah:16).?

Kerendah-hatian dalam beribadah sebagai perwujudan khouf dan roja’, serta tindakan mengentaskan harta pribadi dari hak orang lain menjadi catatan penting bagi karakter pegiat shalat malam. Sebagaimana ayat lain mengisyaratkan, ”Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohon ampun di waktu sahur (menjelang fajar)” (QS. Adz-Dzriyat: 17-18).

Pondok Pesantren Tegal

Nabi Muhammad memberikan kesempatan siapa pun memperoleh gelar ni’mar rajul (lelaki terbaik) sebagaimana diterangkan dalam riwayat Khafsah ra, ? Nabi SAW bersabda, “Sebaik-baik laki-laki adalah hamba Allah andaikata ia melaksanakan shalat malam.” (HR. Bukhari).?

Asbabul wurud atau konteks hadits di atas, menurut riwayat Imam Bukhari dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata, ”Dahulu pada masa Nabi hidup, apabila seorang bermimpi, ia selalu menceritakannya kepada Rasulullah. Maka aku pun berharap melihat sesuatu di dalam mimpi lalu kuceritakan kepada Rasulullah. Saat itu aku masih remaja belia. Dan pada masa Rasulullah aku suka tidur di masjid. Lalu aku bermimpi seolah–olah aku dibawa oleh dua orang malaikat menuju neraka. Teryata, neraka itu dalam seperti sumur dan memiliki sepasang tanduk. Dan di dalamnya ada orang-orang yang kukenal. Maka akupun berucap: ‘Aku berlindung kepada Allah dari neraka’. Lalu kami bertemu dengan seorang malaikat lain yang kemudian bertanya, mengapa kamu tidak takut?” Kemudian aku menceritakan mimpi itu kepada Hafsah ra, lalu Hafsah ra menceritakan kepada Rasulullah.?

Pondok Pesantren Tegal

Rasulullah pun bersabda; diceritakan bahwa, “Ali bin Abi Thalib ra menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah membangunkan dirinya dan Fatimah ra, putri Nabi SAW di malam hari.?

Lalu beliau bertanya : “Tidakkah kalian shalat?” Lantas aku (Ali) menjawab: Ya Rasulullah, jiwa kami ada di tangan Allah, jika Dia berkehendak membangunkan kami, Dia akan membangunkan kami”.?

Ali ra berkata, “ketika aku mengatakan hal itu beliau langsung pergi dan tidak mengatakan sesuatu kepadaku. Kemudian aku mendengar beliau berpaling sambil memukul pahanya seraya membaca firman Alla SWT : “Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah” (QS. Al-Kahfi: 54) (HR. Bukhari)

Menurut Ibnu Baththol, “hadits ini menerangkan keutamaan shalat malam dan anjuran untuk membangunkan keluarga dan kerabat yang tidur” (Syeikh Dr Ahmad Farid/2008).?

Lebih lanjut Ath-Thobari mengatakan, “Andai Nabi SAW tidak mengetahui betapa besarnya keutamaan shalat malam, niscaya beliau tidak akan mengganggu puterinya dan anak pamannya pada waktu yang dijadikan oleh Allah sebagai saat istirahat. Akan tetapi beliau memilih mereka untuk mendapatkan keutamaan tersebut”.

Dari hal-hal di atas kita dapat mengetahui bahwa kita dianjurkan untuk meningkatkan hubungan kita dengan Allah dan manusia secara seimbang. Salah satu contoh yang diberikan oleh Rasulullah dan keluarganya adalah dengan melaksanakan shalat malam dan membangunkan keluarga yang lain untuk shalat malam pula. Ini dilakukan sebagai cara mengajak keluarga untuk mendekatkan diri kepada Allah secara lebih intens. (Ali Makhrus)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pondok Pesantren Tegal Santri, Doa, Internasional Pondok Pesantren Tegal

Kamis, 01 September 2016

Perempuan NU Majalengka Perkuat Basis

Majalengka, Pondok Pesantren Tegal. Pengurus Fatayat NU dan Muslimat NU Majalengka mengadakan silaturahmi bersambung dari satu ke lain kecamatan, dari satu ke lain desa, Rabu (13/8). Kegiatan turun ke bawah ini yang diawali bulan Syawal ini akan berkelanjutan pada bulan-bulan ke depan.

Mereka dalam kunjungannya, membuka ruang dialog penguatan struktur Fatayat dan Muslimat NU di tiap tingkat kepengurusan. Ketua Fatayat NU Majalengka Hj Atun Minatul Maula mengingatkan pengurus yang hadir untuk menjaga prilaku dan akhlak remaja mereka dalam koridor Aswaja NU dan hukum positif yang berlaku.

Perempuan NU Majalengka Perkuat Basis (Sumber Gambar : Nu Online)
Perempuan NU Majalengka Perkuat Basis (Sumber Gambar : Nu Online)

Perempuan NU Majalengka Perkuat Basis

“Sehingga mereka tidak terlibat dalam komunitas geng motor yang belakangn meresahkan warga atau gerakan radikal yang melawan negara,” pesan Hj Atun mengingatkan ratusan jamaah di desa Bongas Kidul, Sumberjaya, Majalengka, Rabu (13/8) siang.

Pondok Pesantren Tegal

Hj Atun mengimbau kader warga NU setempat untuk mendorong anak mereka bergabung di IPNU dan IPPNU. “Dengan demikian, anak-anak usia sekolah bisa terkontrol dan memahami nilai-nilai Islam Aswaja Nahdlatul Ulama.”

Pondok Pesantren Tegal

Sementara Hj Afiyah Ilyas Helmi menyampaikan, Fatayat dan Muslimat NU akan bergandengan tangan dalam menggelar silaturahmi ke tiap pengurus. Fatayat dan Muslimat NU Majalengka akan berjalan dengan sinergi dalam menyosialisasikan nilai-nilai Aswaja NU di dalam rumah tangga. (Aris Prayuda/Alhafiz K)

Dari Nu Online: nu.or.id

Pondok Pesantren Tegal AlaSantri, Makam, Tokoh Pondok Pesantren Tegal